DPR, E-KTP, dan Anomali Bernegara

MEDIA massa dan media sosial kota hari-hari ini sibuk bicara tentang lanjutan dari kasus KTP elektronik atau E-KTP. Dua isu besar berkaitan dengan E-KTP. Pertama tentang pengusutan terhadap para pihak yang diduga menerima aliran dana E-KTP, baik yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan, maupun pengadilan. Semuanya berkaitan dengan langkah-langkah  Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK. Kedua, di lembaga legislatif, di sana para anggota DPR-RI yang terus bersikeras membentuk Panitia Khusus Angket KPK yang terkesan terus mencari-cari kesalahan dan kelemahan KPK. Mereka bersatu menggempur KPK agar tidak kehilangan kehormatannya.

Tiada hari dan jam tanpa pemberitaan kasus E-KTP. KPK disokong oleh sejumlah besar elemen masyarakat. KPK telah bekerja menurut “garis edarnya” menuntaskan adanya dugaan megakorupsi dalam proyek pengadaan E-KTP yang merugikan Rp 2 triliun lebih dan melibatkan unsur oknum-oknum di DPR, Kemendagri dan pengusaha.

Sebagian oknum Kemendagri mengakui menikmati bancakan dana E-KTP dan mengakui pula membagikan dana kepada oknum anggota DPR. Sebagian pengusaha juga terang-terangan mengakui keculasannya menggarong dana E-KTP dan mengaku pula mendistribusikan hasil garongannya ke pejabat di Kemendagri dan pejabat di DPR. Pembagian uang hasil korupsi sudah jelas angka-angkanya kepada siapa dibagikan. Malah ada sebagian terduga dan tersangka korupsi telah mengembalilan uang haram itu ke KPK.

Itu semua menunjukkan bahwa peristiwa korupsi itu jelas-jelas ada. Tak bisa dipungkiri dengan dalih apa pun. Menyebut adanya kasus korupsi itu bohong seperti yang dikemukakan seorang pimpinan DPR sama halnya dengan melawan keniscayaan. Membentuk Pansus Angket KPK apa pun alasannya adalah upaya terang-terangan melawan KPK dan melawan penegakan hukum di negara hukum kita. Juga melawan akal sehat bangsa.

Berbondong-bondongnya elemen masyarakat, dari masyarakat sipil, LSM sampai masyarakat kampus memberikan dukungan kepada KPK dan menentang pembentukan Pansus Angket janganlah dianggap sebagai rekayasa KPK atau rekayasa pihak tertentu. Rakyat kita bukan kumpulan orang-orang bodoh yang  gampang percaya dengan rekayasa. Apalagi di sana ada ratusan kaum intelektual alias kaum terpelajar. Mereka mesti paham mana yang hak dan mana yang batil.

Yang terjadi sekarang adalah anomali, DPR yang mestinya sebagai representasi rakyat malah kehilangan kepercayaan dari rakyat pemberi mandat. Anehnya DPR tetap merasa benar dengan langkah-langkahnya, termasuk menemui para terpidana koruptor dalam penjara. Itu pun termasuk melawan akal sehat. Mereka yang sudah jelas terbukti bersalah didengar keluhannya saat penyelidikan dan penyidikan di tangan KPK.

Artinya DPR sengaja mencari-cari kesalahan dan kelemahan KPK sebuah institusi yang pembentukan dan pengisian pimpinannya direstui  DPR sendiri.

Kasus E’KTP sejatinya hanyalah satu contoh. Banyak anomali lainnya yang bisa kita dapatkan dalam keseharian DPR kita. Institusi yang dibentuk dengan dana dan energi yang sangat besar pada akhirnya memupuskan harapan rakyat sang pemilih. Yang tersisa adalah keangkuhan bahwa DPR dapat berbuat apa saja dengan berlindung di balik kemasan formalisme konstitusi. Sayang jika DPR kehilangan legitimasi dari rakyat pemilihnya.

Sampai kapan kita akan bernegara penuh dengan anomali seperti ini? Inilah momentum kita mengkaji ulang apa yang salah dengan tatanan konstitusional kita. Mementum bagi kita untuk menata ulang dasar dan implementasi demokratisasi kita. Agar semua institusi termasuk DPR bekerja sesuai dengan tujuan bangsa dan negara kita dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban.

Salam.

Leave your comment

Please enter your name.
Please enter comment.